Dalam
surat Al-Baqoroh ayat 183, Allah SWT memerintahkan umat Islam
melaksanakan shiyam (puasa) untuk mencapai derajat taqwa. Perintah ini
adalah umum, baik untuk pria maupun wanita. Tetapi dalam perincian
pelaksanaan shiyam, ada beberapa hukum khusus bagi wanita. Hal ini
terjadi karena perbedaan fithrah yang ada pada wanita yang tidak
dimiliki oleh pria. Dalam kajian ini- insya Allah- akan dibahas
hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita secara khusus.
Panduan Umum
1. Wanita sebagaimana pria disyari'atkan memanfaatkan
bulan suci ini untuk hal-hal yang bermanfaat, dan
memperbanyak menggunakan waktu untuk beribadah.
Seperti memperbanyak bacaan Al-Qur'an, dzikir, do'a,
shodaqoh dan lain sebagainya, karena pada bulan ini amal
sholeh dilipatgandakan pahalanya.
2. Mengajarkan kepada anak-anaknya akan nilai bulan
Ramadhan bagi umat Islam, dan membiasakan mereka
berpuasa secara bertahap (tadarruj), serta menerangkan
hukum-hukum puasa yang bisa mereka cerna sesuai
dengan tingkat kefahaman yang mereka miliki.
3. Tidak mengabiskan waktu hanya di dapur, dengan membuat
berbagai variasi makanan untuk berbuka. Memang wanita
perlu menyiapkan makanan, tetapi jangan sampai hal itu
menguras seluruh waktunya, karena ia juga dituntut untuk
mengisi waktunya dengan beribadah dan bertaqorrub
(mendekatkan diri) kepada Allah.
4. Melaksanakan shalat pada waktunya (awal waktu)
Hukum
berpuasa bagi muslimah berdasarkan umumnya firman Allah SWT (QS.
Al-Baqoroh: 183) serta hadits Rasulullah SAW (HR.Bukhori & Muslim),
maka para ulama' ber-ijma' bahwa hukum puasa bagi muslimah adalah wajib,
apabila memenuhi syarat-syarat; antara lain: Islam, akil baligh, muqim,
dan tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk berpuasa.
Wanita Shalat Tarawih, I'tikaf dan Lailat al Qodr
Wanita
diperbolehkan untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid jika aman
dari fitnah. Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian melarang wanita
untuk mengunjungi masjid-masjid Allah " (HR. Bukhori). Prilaku ini juga
dilakukan oleh para salafush shaleh. Namun demikian, wanita diharuskan
untuk berhijab (memakai busana muslimah), tidak mengeraskan suaranya,
tidak menampakkan perhiasan-perhiasannya, tidak memakai angi-wangian,
dan keluar dengan izin (ridho) suami atau orang tua.
Shaf
wanita berada dibelakang shof pria, dan sebaik-baik shaf wanita adalah
shaf yang di belakang (HR. Muslim). Tetapi jika ia ke masjid hanya untuk
shalat, tidak untuk yang lainnya, seperti mendengarkan pengajian,
mendengarkan bacaan Al-Qur'an (yang dialunkan dengan baik), maka shalat
di rumahnya adalah lebih afdlol.
Wanita
juga diperbolehkan melakukan i'tikaf baik di masjid rumahnya maupun di
masjid yang lain bila tidak menimbulkan fitnah, dan dengan mendapatkan
izin suami, dan sebaiknya masjid yang dipakai i'tikaf menempel atau
sangat berdekatan dengan rumahnya serta terdapat fasilitas khusus bagi
wanita.
Disamping
itu wanita juga di perbolehkan menggapai 'lailat al qodr', sebagaimana
hal tersebut dicontohkan Rasulullah SAW dengan sebagian isteri beliau.
(Lebih lanjut lihat panduan tentang i'tikaf dan lailat al qodr).
Wanita Haidh dan Nifas
Shiyam
dalam kondisi ini hukumnya haram. Apabila haid atau nifas keluar meski
sesaat sebelum maghrib, ia wajib membatalkan puasanya dan mengqodo'nya
(mengganti) pada
waktu yang lain.
Apabila
ia suci pada siang hari, maka untuk hari itu ia tidak boleh berpuasa,
sebab pada pagi harinya ia tidak dalam keadaan suci. Apabila ia suci
pada malam hari Ramadhan meskipun sesaat sebelum fajar, maka puasa pada
hari itu
wajib atasnya, walaupun ia mandi setelah terbit fajar.
Wanita Hamil dan Menyusui
a. Jika wanita hamil itu takut akan keselamatan
kandungannya, ia boleh berbuka.
b. Apabila kekhawatiran ini terbukti dengan pemeriksaan
secara medis dari dua dokter yang terpercaya, berbuka
untuk ibu ini hukumnya wajib, demi keselamatan janin yang
ada dikandungannya.
c. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan kesehatan
dirinya, bukan kesehatan anak atau janin, mayoritas ulama'
membolehkan ia berbuka, dan ia hanya wajib mengqodo'
(mengganti) puasanya. Dalam keadaan ini ia laksana orang
sakit.
d. Apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan keselamatan
janin atau anaknya (setelah para ulama' sepakat bahwa
sang ibu boleh berbuka), mereka berbeda pendapat dalam
hal: Apakah ia hanya wajib mengqodo'? atau hanya wajib
membayar fidyah (memberi makan orang miskin setiap hari
sejumlah hari yang ia tinggalkan)? atau kedua-duanya
qodho' dan fidyah (memberi makan):
- Ibnu Umar dan Ibnu Abbas membolehkan hanya dengan
memberi makan orang miskin setiap hari sejumlah hari yang
ditinggalkan.
- Mayoritas ulama' mewajibkan hanya mengqodho'.
- Sebagian yang lain mewajibkan kedua-duanya; qodho' dan
fidyah.
- DR. Yusuf Qorodhowi dalam Fatawa Mu'ashiroh mengatakan
bahwa ia cenderung kepada pendapat yang mengatakan
cukup untuk membanyar fidyah (memberi makan orang
setiap hari), bagi wanita yang tidak henti-hentinya hamil
dan menyusui. Tahun ini hamil, tahun berikutnya menyusui,
kemudian hamil dan menyusui, dan seterusnya, sehingga ia
tidak mendapatkan kesempatan untuk mengqodho' puasanya.
Lanjut
DR. Yusuf al-Qorodhowi; apabila kita membebani dengan mengqodho' puasa
yang tertinggal, berarti ia harus berbuasa beberapa tahun berturut-turut
sertelah itu, dan itu sangat memberatkan, sedangkan Allah tidak
menghendaki kesulitan bagi hambaNya.
Wanita yang Berusia lanjut
Apabila
puasa membuatnya sakit, maka dalam kondisi ini ia boleh tidak berpuasa.
Secara umum, orang yang sudah berusia lanjut tidak bisa diharapkan
untuk melaksanakan (mengqodho') puasa pada tahun-tahun berikutnya,
karena itu ia hanya wajib membayar fidyah (memberi makan orang miskin).
Wanita dan Tablet Pengentas Haidh
Syekh
Ibnu Utsaimin menfatwakan bahwa penggunaan obat tersebut tidak
dianjurkan. Bahkan bisa berakibat tidak baik bagi kesehatan wanita.
Karena haid adalah hal yang telah ditakdirkan bagi wanita, dan kaum
wanita di masa Rasulullah SAW tidak pernah membebani diri mereka untuk
melakukan hal tersebut.
Namun
apabila ada yang melakukan, bagaimana hukumnya ?. Jawabnya: Apabila
darah benar-benar terhenti, puasanya sah dan tidak diperintahkan untuk
mengulang. Tetapi apabila ia ragu, apakah darah benar-benar berhenti
atau tidak,maka hukumnya seperti wanita haid, ia tidak boleh melakukan
puasa. ( Masa'il ash Shiyam h. 63 & Jami'u Ahkam an Nisa' 2/393)
Mencicipi Masakan
Wanita
yang bekerja di dapur mungkin khawatir akan masakan yang diolahnya pada
bulan puasa, karena ia tidak dapat merasakan apakah masakan tersebut
keasinan atau tidak atau yang lain-lainnya. Maka bolehkah ia mencicipi
masakannya?
Para
ulama' memfatwakan tidak mengapa wanita mencicipi rasa masakannya, asal
sekedarnya dan tidak sampai di tenggorokan, dalam hal ini diqiyaskan
dengan berkumur. (Jami'u Ahkam an Nisa').
Sumber : eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar