Malam telah pekat, selimut-selimut semakin dirapatkan para pemiliknya untuk menambah lelap. Angin
sahara menderu akrab ditelinga, dingin menusuk, kesunyian hadir sejak
tadi. Dia mengendap-endap keluar dari petak rumah sederhana, menyusuri
setiap lorong perkampungan Madinah. Jubah kumal bertambalan itu
menemaninya pergi. Ditajamkannya pendengaran, adakah rakyatnya menyelami
derita yang luput dari perhatian. Diawaskannya mata, terdapatkah rakyat
alami duka akibat kepemimpinannya. Jika dia berlalu dan mendengar
dengkuran halus pemilik rumah, senyuman menemaninya berpatroli.
Sendirian, dia memamah malam, langkahnya berjinjit khawatir mengganggu istirahat rakyat yang begitu dicintai. Dari setiap detik yang mengalir, selalu kecemasan yang membayang di wajah pemberaninya, jangan-jangan di rumah ini ada janda dengan anak-anak yang kelaparan, atau khawatir di rumah selanjutnya orang tua terkapar kesakitan tanpa sanak saudara, adakah di rumah itu yang sakit hati karena pajak terlalu tinggi. Sendirian dia menikmati paruh malam, menyulam harapan keadaan rakyat sentosa senantiasa, merajut do’a agar rakyat dibawah naungan perlindungannya dilingkupi pilinan kedamaian.
Langkahnya terhenti, ketika beberapa wanita terdengar bersenandung,
dari bilik sebuah rumah: Adakah jalan untuk minuman memabukkan, Dan aku
akan meminumnya Atau adakah jalan, Kepada Nashr bin Hajjaj? Saat itu,
dia berdiam lama, menghafal sebuah nama asing dalam hatinya, Nashr bin
Hajjaj. Selanjutnya patrolinya dilanjutkan, hingga waktu fajar sebentar
lagi menjemput.
Pagi harinya, dia mencari tahu nama yang didapatinya tadi malam.
Salah seorang pembantunya menghadapkan seorang laki-laki dari suku
Sulaym, Nashr bin Hajjaj. Berdiri tegap sang pemuda. Dia memandangnya
lekat. Pemuda yang menakjubkan, ketampanannya mempesona, rambutnya
indah. Dia mengingat syair wanita semalam. Akhirnya sang pemuda
diperintahkan untuk memotong rambut, ketika kembali, Nashr tampak lebih
tampan, dia pun menyuruhnya mengenakan ikat kepala, kali ini pun Nashr
terlihat lebih mempesona. Khawatir menimbulkan banyak fitnah dan
kemudharatan di tempat berdiamnya selama ini, Dia pun mengamanahkan
Nashr tugas mulia, menjadi anggota pasukan tentara dengan jaminan
kehidupan yang lebih baik. Wajah Sang pemuda pun berbunga.
Siapakah dia, yang sangat khawatir terjadi kerusakan akhlak para
wanita hingga memikirkan solusi terbaik dengan memindahkan Nashr? Tebak,
siapa pemimpin yang begitu tulus mencintai rakyatnya dengan berjalan
dari satu lorong ke lorong yang lain untuk mencari tahu adakah rakyatnya
yang tidak dapat tidur nyenyak? Ya, saya sepakat denganmu sahabat, Dia adalah Umar Bin Khattab, khalifah kedua bergelar amirul mu’minin, pemimpin bagi orang-orang mu’min. Begitu Mahsyur.
Suatu periode dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu.
Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi
turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan.
Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.
Putus asa mendera dimana-mana. Saat itu, Umar sang pemimpin
menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat
diperhatikannya seksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati.
Setiap hari diinstruksikan menyembelih onta-onta potong dan disebarkan
pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong ribuan rakyat
datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi
kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan
sampai umat Muhammad menemui kehancuran ditangan ini”.
Sejarah menorehkan kisah Umar yang mengharamkan daging, samin dan
susu untuk perutnya, khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si
pemberani itu hanya menyantap minyak zaitun dengan sedikit roti.
Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata
“Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun
perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian,
ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah
sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, hingga rakyatku bisa
kenyang dan hidup dengan wajar”.
Tahun abu pun berlalu. Daerah kekuasaan Islam bertambah luas,
pendapatan negara semakin besar. Masyarakat semakin makmur. Apakah umar
berhenti berpatroli? Masih dengan jubah kumal, umar didampingi
pembantunya berkeliling merambahi rumah-rumah berpelita. Kehidupan
keluarga umar, masih saja pas-pasan. Padahal para gubernur di beberapa
daerah hidup dalam kemewahan. Para sahabat, mulai berkasak-kusuk, mereka
mengusulkan untuk memberi tunjangan dan kenaikan gaji yang besar untuk
Umar. Namun, para sahabat tidak berani menyampaikan usul ini langsung
kepada umar. Lewat Hafsah putri Umar, yang juga janda Rasulullah, usul
ini disampaikan. Sebelumnya mereka berpesan supaya tidak disebut
nama-nama mereka yang mengusulkan.
“Siapa mereka yang mempunyai pikiran beracun itu, akan ku datangi
mereka satu persatu dan menamparnya dengan tanganku ini,” berangnya
kepada Hafsah. Selanjutnya tatapannya meredup, dipandanginya putri
kesayangan itu, “Anakku, makanan apa yang menjadi santapan suamimu,
Rasulullah?” Hafsah terdiam, pandangannya terpekur di lantai tanah.
Ingatan hidup indah bersama sang purnama Madinah, tergambar. Terbata
Hafsah menjawab, “Roti tawar yang keras, ayah. Roti yang harus terlebih
dahulu dicelup ke dalam air, agar mudah ditelan”.
“Hafsah, pakaian apa yang paling mewah dari suamimu,” seraknya masih
dengan nada kecewa. Hafsah semakin menunduk, pelupuk mata sudah
tergenang. Terbayanglah tegap manusia sempurna, yang selalu berlaku baik
kepada para istrinya. “Selembar jubah kemerahan, ayah, karena warnanya
memudar. Itulah yang dibangga-banggakan untuk menerima tamu kehormatan”.
Pada saat menjawab, kerongkongan Hafsah tersekat, menahan kesedihan.
“Apakah, Rasulullah membaringkan tubuh diatas tilam yang empuk?”
pertanyaan ini langsung dipotong Hafsah “Tidakk!” pekiknya. “Beliau
berbantal pelepah keras kurma, beralaskan selimut tua. Jika musim panas
datang, selimut itu dilipatnya menjadi empat, supaya lebih nyaman
ditiduri. Lalu kala musim dingin menjelang, dilipatnya menjadi dua, satu
untuk alas dan bagian lainnya untuk penutup. Sebagian tubuh beliau
selalu berada diatas tanah”. Saat itu meledaklah tangis Hafsah.
Mendengar jawaban itu, Umar pun berkata, “Anakku! Aku, Abu Bakar dan
Rasulullah adalah tiga musafir yang menuju cita-cita yang sama.
Mengapakah jalan yang harus kutempuh berbeda? Musafir pertama dan kedua
telah tiba dengan jalan yang seperti ini.” Selanjutnya Umar pun
menambahkan “Rasulullah pernah berkata: Kita adalah kaum yang
menangguhkan kesenangan untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan
dunia seperti orang yang berpergian pada musim panas. Ia berlindung
sejenak dibawah pohon, kemudian berangkat meninggalkannya”.
Pada saat kematian menjelang lewat tikaman pisau Abu Lu’Lu’a, budak
Mughira bin Syu’bah, ringan ia bertutur, “Alhamdulillah, bahwa aku tidak
dibunuh oleh seorang muslim”. Mata yang jarang terlelap karena
mengutamakan rakyatnya itu menutup untuk selama-lamanya. Umar pun
syahid, dalam usia 60 tahun. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raajiiun.
Sumber : http://blog.bodi.web.id