Assalamu 'alaykum Wa rahmatullaahi Wa barakatuh.

Assalamu 'alaykum Wa rahmatullaahi Wa barakatuh.

Ahlan Wa sahlan di blog saya yang sangat sederhana ini

Salam Ukhuwah buat saudara-saudaraku yang telah mampir di blog saya , selamat berseluncur menikmati secuil ilmu yang ada disini . dan Semoga bermanfaat bagi setiap yang membaca nya .... Aamiin .....


Salam Ukhuwah



Abu Yumna

Senin, 10 Januari 2011

Perbedaan Mandi Haid Dengan Mandi Janabat

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah yang menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang menjadi teladan dalam bersuci dan menjadi tempat bertanya dalam urusan agama, juga kepada keluarga, dan para sahabatnya.

Mandi dari haid dan nifas, pada dasarnya, sama seperti mandi janabat. Yaitu harus terpenuhi dua rukun utama, niat dan meratakan air ke seluruh tubuh dari ujung rambut sampai pangkal kaki. Tidak boleh ada satu titik dari itu yang tidak terbasuh air.

Tata cara mandi janabat sesusai sunnah yang telah kami sebutkan dalam tulisan sebelumnya Tata Cara Mandi Janabat yang Sempurna berlaku pada mandi untuk bersuci dari haid. Hanya saja ada beberapa tambahan sebagai berikut:

1. Disunnahkan menggunakan sabun dan alat pembersih lainnya selain air agar hilang bau tidak sedap dari sisa haid

Dasarnya dalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara mandi dari haid, maka beliau bersabda,

تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا

“Hendaknya salah seorang kalian menyiapkan air dan daun bidara, lalu bersuci dengannya dengan sempurna (yaitu berwudhu menurut keterangan sebagian ulama). Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan mengosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit kepalanya. Lalu mengguyurkan air ke atas tubuhnya. Kemudian ambillah sepotong kapas yang telah dibubuhi minyak wangi, lalu bersihkanlah dengannya.”

Lalu Asma’ bertanya, Bagaimana wanita membersihkan dengan kapas itu?” Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Subhanallah, bersihkanlah dengannya.”

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Seakan-akan wanita tersebut tidak mengetahuinya, yaitu engkau membersihkan bekas darah itu dengannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Lebih lengkapnya silahkan baca tulisan terdahulu Apakah Disunnahkan Menggunakan Sabun Saat Mandi Janabat?.

2. Mengurai rambutnya yang dikepang dan menggosok kulit kepala dengan kuat sehingga air sampai ke kulit kepalanya

Dasarnya adalah hadits di atas,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا

“Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan menggosoknya dengan kuat sehingga air membasahi kulit kepalanya.”

Ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak mencukupkan hanya dengan menuangkan air, seperti halnya mandi junub. Apalagi dalam kelanjutan hadits tersebut ditanyakan juga tentang mandi janabat, lalu beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُؤُونَ رَأْسِهَا

“Kemudian dia menuangkan air di atas kepalanya dan mengosoknya sehingga air membasahi kulit kepalanya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) tanpa ada tambahan fatadlukuhu dalkan syadidan (dan mengosoknya dengan kuat). Dengan demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membedakan cara menyiram dan mengucek rambut dalam mandi janabat dan mandi selepas haid. Bagi wanita yang haid ditekankan agar bersuci dan mengucek kepalanya dengan kuat dan sungguh-sungguh. Sedangkan dalam mandi janabat tidak ditekankan hal itu.

Berkaitan dengan rambut yang dikepang, ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Ini berbeda dengan mandi selepas haid, yang sangat dianjurkan untuk melepas kepangannya dan mengurai rambutnya.

Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku seorang wanita yang suka menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku melepasnya saat mandi junub? Beliau menjawab,

لَا إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ

“Tidak, cukup bagimu menyiram kepalamu 3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Muslim dan Ashabus Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa Ghalil no. 136)

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan sisirlah rambutmu.” (HR. al-Bukhari)

Syaikh Bin Bazz rahimahullaah menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Mutaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub.”

Hukum Mengurai Rambut Saat Mandi Haid

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum rinci tentang mengurai rambut yang dikepang bagi wanita haid saat mandi haid. Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah berpendapat: Hukumnya dianjurkan, bukan wajib. Sementara Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri, dan Thawus berpendapat bahwa wanita yang mandi dari haid wajib melepas ikatan rambutnya, berdasarkan hadits-hadits yang lalu.

Menurut Pengarang Shahih Fiqih Sunnah, pendapat kedua-lah yang lebih kuat dalam masalah ini, seperti yang telah ditahqiq oleh Ibnul Qayyim rahimahullaah. (Lihat: Tahdzib Sunan: I/193 dan Aunul Ma’bud)

Lalu Syaikh Abu Malik Kamal berkata, “Berdasarkan hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila hendak mandi dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat untuk diamalkan.” (Shahih Fiqih Sunnah: I/293)

“Berdasarkan hal ini, maka wajib bagi wanita untuk mengurai rambutnya apabila hendak mandi dari haid atau nifas secara khusus. Dan inilah yang lebih selamat untuk diamalkan.”

(Shahih Fiqih Sunnah: I/293)

Hikmah Mengurai Rambut

Tujuan dari mengurai rambut dan melepaskan kepangan adalah untuk meyakinkan sampainya air ke dasar rambut. Hanya saja pada mandi janabat (junub) masih ditolerir, karena seringnya hal itu dilakukan dan karena adanya kesulitan yang sangat saat mengurainya. Lain halnya dengan mandi haid yang hanya terjadi setiap sebulan sekali. (Disarikan dari Tahdziib Sunan Abi Dawud, Ibnul Qayyim: I/167, no. 166)

3. Mengoleskan sepotong kain atau kapas yang dibubuhi minyak wangi ke kemaluannya dan bagian tubuh yang terkena darah sesudah mandi

Dianjurkan bagi wanita untuk menggunakan sepotong kain atau kapas yang telah dibubuhi minyak wangi dan mengoleskan pada kemaluannya sesudah mandi. Demikian juga bagian tubuh yang terkena darah, hendaknya dibersihkan dengan kapas tadi. Hal ini didasakan pada hadits Aisyah di atas tentang pertanyaan Asma’ radhiyallahu 'anhuma.

Hikmahnya

Para ulama berbeda pendapat tentang hikmah dianjurkannya memakai minyak wangi ini. Dan pendapat yang kuat, tujuan mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum. Karenanya, jika tidak didapatkan minyak wangi bisa digantikan dengan benda lain yang memiliki bau harum atau yang bisa menghilangkan bau tidak sedap. Jika semua itu tidak didapatkan, maka menggunakan air saja sudah cukup. Namun jika ada minyak wangi tapi tidak menggunakannya, maka dimakruhkan. (Lihat Syarah shahih Muslim atas hadits di atas)

Tujuan mengoleskan minyak wangi tadi untuk menghilangkan bau yang tidak sedap dan supaya kemaluan dan tempat terkena darah haid menjadi harum.

Anjuran ini ditujukan kepada setiap wanita yang bersih dari nifas atau haid, baik dia punya suami atau tidak. Dan tentunya bagi yang bersuami lebih ditekankan, agar suami bersemangat untuk menggaulinya sesudah suci, sebagaimana anjuran bagi suami untuk segera menggauli istrinya sesudah berhenti dari haid dan nifas. Wallahu Ta’ala A’lam.

Bagaimana Dengan Wanita yang Sedang Berkabung?

Pada dasarnya wanita yang sedang berkabung tidak boleh memakai minyak wangi. Namun, untuk mandi dari haid diberi keringanan. Karenanya dia tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah haidnya, walaupun dia sedang berkabung atas kematian suami atau salah seorang keluarganya.

Bagi wanita yang ditinggal suaminya tetap dianjurkan untuk memakai minyak wangi untuk menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya dan tempat yang terkena darah haidnya

Dasarnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah radhiyallahu 'anha tentang hal-hal yang dilarang ketika sedang berkabung, “Kami tidak boleh memakai minyak wangi dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali pakaian yang biasa untuk bekerja. Namun kami diberikan keringanan, jika salah seorang kami mandi setelah ia suci dari haidnya untuk menggunakan sepotong kapas yang dibubuhi minyak wangi.” (HR. Al-Buhkari, no. 313)

Perbedaan Antara Iman dan Islam

Tidak syak, terdapat perbedaan mencolok antara muslim dan mukmin, atau Islam dan Iman. Iman adalah perkataan dan perbuatan (amal): Perkataan adalah perkataan hati dan lisan, sedangkan amal adalah amalan hati dan anggota badan. Sementara makna Islam, maksudnya berserah diri, tunduk dan patuh kepada ketetapan-Nya.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman,

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُم

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. . .” (QS. Al-Hujurat: 14)

Karena itu para ulama menafsirkan Iman sebagai amal batin, sedangkan Islam sebagai amal zhahir. Karena iman pada dasarnya adalah pembenaran dangan hati terhadap apa yang diyakini dan dipercaya. Sementara asal makna Islam adalah ketundukan dan kepatuhan yang menuntut kerja dengan anggota badan.

Maka seorang muslim adalah orang yang tunduk menyerah kepada perintah Allah dan mematuhi-Nya. Dia akan tunduk dan mentaati Allah dengan suka rela atau terpaksa tanpa membeda-bedakan satu perintah dengan perintah yang lain. Apabila Allah memerintahkan satu perintah, maka dia segera melaksanakannya. Dan apabila melarang sesuatu dalam Islam, maka dia meninggalkan dan menjauhinya. Dia meyakini bahwa perintah Allah hanya berisi maslahat semata, sedangkan yang dilarang-Nya hanya berisi mafsadat (kerusakan). Maka kapan saja dia mendengar ada ketaatan kepada Allah dalam satu masalah, segera dia melaksanakannya karena cinta kepada perintah tersebut, sangat agresif dan penuh semangat, seolah-olah dia sendiri yang menghendaki tanpa ada paksaan. Seperti inilah seharusnya seorang muslim.

Seorang muslim adalah orang yang tunduk menyerah kepada perintah Allah dan mematuhi-Nya. Dia akan tunduk dan mentaati Allah dengan suka rela atau terpaksa tanpa membeda-bedakan satu perintah dengan perintah yang lain.

Pada banyak kesempatan, syariat menggunakan kata ‘Islam’ untuk menjelaskan maksud Iman. Seperti dalam hadits Jibril 'alaihis salam yang sangat masyhur itu, beliau shallallahu 'alaihi wasallam membedakan antara keduanya ketika Jibril bertanya kepadanya, “Ya Rasulallah, beritahukan kepadaku tentang Iman!”. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir, juga engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”

Jibril 'alaihis salam bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Islam!.” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu.”

Dalam hadits tersebut, beliau menafsirkan iman dengan amal batin. Itu menunjukkan bahwa iman pada dasarnya adalah keyakinan atau amalan hati. Lalu beliau menafsirkan Islam dengan amal zhahir, karena ikrar dua kalimat syahadat walaupun hanya ucapan saja, tapi dia amal yang nampak dan terlihat pengaruhnya berupa ibadah kepada Allah semata dan mentaatinya. Shalat juga perkara zhahir yang dapat disaksikan, begitu juga shaum. Sementara zakat, memberikannya juga merupakan perkara zhahir. Begitu juga haji, pelaksanaannya terlihat dan nampak.

Walaupun begitu, ada juga hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menjelaskan iman dengan makna Islam. Misalnya dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma tentang utusan Abdil Qais, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Aku perintahkan kepada kalian empat perkara: Aku perintahkan kalian untuk beriman kepada Allah. Tahukan kalian apa itu iman kepada Allah? Yaitu bersyahadat bahwa tiada tuhan (yang hak) kecuali hanya Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kalian mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyerahkan seperlima dari harta ghanimah.” Beliau menyebut semua ini sebagai iman yang disebutkan di dalamnya dua kalimat syahdat, shalat dan zakat. Berarti dalam hal ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menafsirkan iman dengan penafsiran Islam.

Kesimpulannya, bahwa Islam ditafsirkan secara global berarti amal zhahir: dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum, dan haji. Semua amal-amal zhahir lainnya Masuk di dalamnya. Sementara rukun Islam yang lima menduduki semacam kerangka dasar yang bangunan Islam berdiri tegak di atasnya, tidak sempurna Islam kecuali dengan kelimanya.

Sedangkan iman adalah perkataan, perbuatan, dan i’tiqad (keyakinan). Perkataan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan. Ucapan dengan lisan, antara lain dzikir, membaca Al-Qur’an, berdoa, menyuruh kepada kebaikan dan mendakwahkannya, melarang keburukan dan memperingatkannya, mengajar dan menasihati orang sesat, mengucapkan salam dan menjawabnya, serta yang semisalnya. Sedangkan amalan, masuk di dalamnya amalan hati dan amalan anggota badan. Amalan hati: Mencintai dan membenci karena Allah, ridha terhadap takdir-Nya, bersabar atas ujian dari-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, bertawakkal dan bertaubat kepada-Nya, dan amal-amal semisalnya. Semua itu disebut amal hati. Sedangkan amal anggota badan: ruku’, sujud, berdiri dan duduk shalat, thawaf, berjihad, haji, dan semisalnya.

Keutamaan Dzikir

Dzikir merambah aspek yang luas dalam diri insan. Karena dengan dzikir, seseorang pada hakekatnya sedang berhubungan dengan Allah. Dzikir juga merupakan makanan pokok bagi hati setiap mu'min, yang jika dilupakan maka hati insan akan berubah menjadi kuburan. Dzikir juga diibaratkan seperti bangunan-bangunan suatu negri; yang tanpa dzikir, seolah sebuah negri hancur porak poranda bangunannya. Dzikir juga merupakan senjata bagi musafir untuk menumpas para perompak jalanan. Dzikirpun merupakan alat yang handal untuk memadamkan kobaran api yang membakar dan membumi hanguskan rumah insan. Demikianlah diungkapkan dalam "Tahdzib Madarijis Salikin".

Rasulullah SAW juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati:

عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الذِّي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالذِّي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

"Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)

Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga mengumpamakannya dengan rumah. Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia hidup, dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang mati, atau kuburan.

Seorang mu'min yang senantiasa mengajak orang lain untuk kembali kepada Allah, akan sangat memerlukan porsi dzikrullah yang melebihi daripada porsi seorang muslim biasa. Karena pada hakekatnya, ia ingin kembali menghidupkan hati mereka yang telah mati. Namun bagaimana mungkin ia dapat mengemban amanah tersebut, manakala hatinya sendiri redup remang-remang, atau bahkan juga turut mati dan porak poranda.

URGENSI DZIKIR DALAM KEBERSIHAN HATI SEORANG DA'I

Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur'an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram (13:28)

الذِّيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang."

Ketenangan bukanlah sebuah kata yang tiada makna dan hampa. Namun ketenangan memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup kebahagian di dunia dan di akhirat. Allah SWT ketika memanggil seorang hamba untuk kembali ke haribaan-Nya guna mendapatkan keridhaan-Nya, menggunakan istilah ini:

"Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kamu pada Rabmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu dalam surga-Ku." (Al-Fajr, 27-30)

Ketenagan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang tidak bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan penulis melihat bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya bangunan ketenangan hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati menjadi bersih, sebagaimana dzikir juga dapat menjadikan hati menjadi tenang. Dan ini pulalah letak urgensitas dzikir dalam hati seorang da'i.

Adalah suatu hal yang teramat tabu bagi seorang da'i, meninggalkan dzikir dalam setiap detik yang dilaluinya. Karena dzikir memiliki banyak keistimewaan yang teramat penting guna menjadi bekalan da'wah yang akan mereka lalui. Salah seorang salafuna saleh ada yang mengatakan, "Lisan yang tidak berdzikir adalah seperti mata yang buta, seperti telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh. Hati merupakan pintu besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan Rabnya, selama hamba tersebut tidak menguncinya sendiri." Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara yang sangat indah:

تَفَقَّدُوْا الْحَلاَوَةَ فيِ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءٍ : فِي الصَّلاَةِ، وَفِي الذِّكْرِ وَفِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ... وَإِلاَّ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اْلبَابَ مُغْلَقٌ

"Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat, dalam dzikir dan dalam tilawatul Qur'an, dan kalian akan mendapatkannya... Jika tidak maka ketahuilah, bahwa pintu telah tertutup."

Inilah pentingnya dzikir bagi kebersihan hati seorang da'i. Dengan dzikir, seorang hamba akan mampu menundukkan syaitan, sebagaimana syaitan menundukkan manusia yang lupa dan lalai. Dengan dzikir pulalah, amal shaleh menjadi hidup. Dan tanpa dzikir, amal shaleh seperti jasad yang tidak memiliki ruh. Akankan aktifitas da'wah yang dilakukan da'i menjadi seperti jasad tanpa ruh?

DZIKIR ANTARA HATI DAN LISAN

Dzikir merupakan ibadah hati dan lisan, yang tidak mengenal batasan waktu. Bahkan Allah menyifati ulil albab, adalah mereka-mereka yang senantiasa menyebut Rabnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk bahkan juga berbaring. Oleh karenanya dzikir bukan hanya ibadah yang bersifat lisaniah, namun juga qolbiah. Imam Nawawi menyatakan bahwa yang afdhal adalah dilakukan bersamaan di lisan dan di hati. Sekiranyapun harus salah satunya, maka dzikir hatilah yang lebih afdhal. Meskipun demikian, menghadirkan maknanya dalam hati, memahami maksudnya merupakan suatu hal yang harus diupayakan dalam dzikir. Imam Nawawi menyatakan:

المُرَادُ مِنَ الذِّكْرِ حُضُوْرُ الْقَلْبِ ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ هُوَ مَقْصُوْدُ الذَّاِكرِ فَيَحْرُصُ عَلَى تَحْصِيْلِهِ ، وَيَتَدَبَّرَ مَا يَذْكُرُهُ ، وَيَتَعَقَّلَ مَعْنَاهُ..

"Yang dimaksud dengan dzikir adalah menghadirkan hati. Seyogyanya hal ini menjadi tujuan dzikir, hingga seseorang berusaha merealisasikannya dengan mentadaburi apa yang didzikirkan dan memahmi makna yang dikandungnya.."

Dari sinilah muncul perbedaan pendapat mengenai dzikir dengan suara keras, atau dengan suara pelan. Masing-masing dari kedua pendapat ini memiliki dalil yang kuat. Dan cukuplah untuk menegahi hal ini, firman Allah dalam sebuah ayat:

قُلِ ادْعُوْا اللهَ أَوِ ادْعُوْا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوْا فَلَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً

"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (Al-Isra', 17:110)

Meskipun teks ayat di atas dimaksudkan pada bacaan shalat, namun ada juga riwayat lain yang menunjukkan bahwa dzikir dan doa juga termasuk yang dimaksudkannya juga.

قال ابن جرير: حدثنا يعقوب حدثنا ابن علية عن سلمة بن علقمة عن محمد بن سيرين قال: نبئت أن أبا بكر كان إذا صلى فقرأ خفض صوته وأن عمر كان يرفع صوته فقيل لأبي بكر لم تصنع هذا؟ قال أناجي ربي عز وجل وقد علم حاجتي فقيل أحسنت. وقيل لعمر لم تصنع هذا؟ قال أطرد الشيطان وأوقظ الوسنان قيل أحسنت فلما نزلت "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا" قيل لأبي بكر ارفع شيئا وقيل لعمر اخفض شيئا

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin, "bahwa Abu Bakar senantiasa mengecilkan suaranya dalam shalat, sedangkan Umar mengeraskan suaranya. Hingga suatu ketika Abu Bakar ditanya mengenai pelannya suara, beliau menjawab, "Aku bermunajat kepada Rabku, dan Allah telah mengetahui keperluanku." Sementara Umar menjawab, "Aku mengeraskannya untuk mengusir syaitan dan menghancurkan berhala." Maka tatkala turun ayat ini, dikatakan kepada Abu Bakar agar mengeraskan sedikit suaranya dan kepada Umar agar dikecilkan sedikit suaranya."

وَقَالَ أَشْعَثُ بْنُ سِوَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ وَهَكَذَا رَوَى الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ عَنْ هِشَامٍ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أََبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ

“Asy’ast berkata dari Ikrimah dari ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa. Demikian juga Imam Sufyan al-Tsauri dan Malik meriwyatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa.”

Dan doa merupakan bagian dari dzikir. Kemudian terlepas dari "jahr" dan "sir", yang paling penting adalah bagaimana hati dan lisan tidak pernah kering dari dzikrullah.

KEUTAMAAN HALAQOTU DZIKR

Selain dapat dilakukan secara "sirr" maupun "jahr", dzikir pun dapat dilakukan secara fardi dan jama'i. Rasulullah SAW juga menjelaskan mengenai keutamaan dzikir secara jama'i, yang dilakukan dalam halaqoh-halaqoh dzikir. Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin juga mencantumkan bab khusus tentang keutamaan halaqoh dzikir (Bab ke 247), sebagaimana Imam Muslim juga mencantumkan dalam Shahehnya bab fadhl Majalis Dzikr. Bahkan jika diperhatikan dan ditadaburi, dalam Al-Qur'an pun Allah secara tersirat memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa komitmen dengan halaqoh dzikir:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِّيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بْالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (Al-Kahfi, 18:28)

Adapun dalam hadits, terdapat beberapa riwayat yang mengungkapkan keutamaan majalis dzikr, diantaranya adalah:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ ،قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ"

"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah sekelompok orang duduk dan berdzikir kepada Allah, melainkan mereka akan dikelilingi para malaikat, mendapatkan limpahan rahmat, diberikan ketenangan hati, dan Allah pun akan memuji mereka pada orang yang ada di dekat-Nya." (HR. Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW mengatakan:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ :سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ مِنْ أَهْلِ الْكِرَمِ، فَقِيْلَ مَنْ أَهْلُ الْكِرَمِ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟، قَالَ مَجَالِسُ الذِّكْرِ فِيْ الْمَسَاجِدِ. (رواه أحمد)

"Dari Abu Sa'id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT berfirman pada hari kiamat, 'orang-orang yang berkumpul akan mengetahui siapakah mereka yang termasuk ahlul karam (orang yang mulia)', seorang sahabat bertanya, siapakah ahlul kiram ya Rasulullah SAW?, beliau menjawab, "majlis-majlis dzikir di masid-masjid." (HR. Ahmad)

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا وَمَا رِياَضُ الْجَنَّةِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟،قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ، فَإِنَّ لِلَّهِ تَعَالىَ سَيَّارَاتٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حَلَقَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوْا بِهِمْ. (رواه أحمد والترمذي والبيهقي)

Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian melalui taman-taman surga, maka kelilingilah ia." Sahabat bertanya, "apakah taman-taman surga wahai Rasulullah SAW?", beliau menjawab, "yaitu halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah memiliki pasukan-pasukan dari malaikat, yangmencari halaqoh-halaqoh dzikir, yang apabila mereka menjumpainya, mareka akan mengelilinginya." (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi)

MENTADABURI AYAT-AYAT DZIKIR

Setidaknya terdapat sepuluh gambaran, yang Allah sebutkan dalam Al-Qur'an, dengan kaitannya pada penyebutan dzikir. Kesepuluh hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebagai perintah, sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat AL-Ahzab 41-44:

ياأيها الذين ءامنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا. وسبحوه بكرة وأصيلا. هو الذي يصلي عليكم وملائكته ليخرجكم من الظلمات إلى النور وكان بالمؤمنين رحيما. تحيتهم يوم يلقونه سلام وأعد لهم أجرا كريما

"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mu'min itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: "salam"; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka." (Al-Ahzab, 33:41-44)

2. Larangan melupakan dzikir; sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al'A'raf 204:

(ولا تكن من الغافلين)

"Dan janganlah kamu termasuk golongan mereka-mereka yang melupkan Allah (tidak berdzikir)" (Al-A'raf, 7:204) Kemudian juga dalam surat Al-Hasyr, 59:19 :

(ولا تكون كالذين نسوا الله فأنساهم أنفسهم، أولئك هم الفاسقون)

"Dan janganlah kamu menjadi termasuk orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakan mereka."

3. Mendapatkan pujian dan surga bagi para pendzikir..Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Ahzab, 33:35:

إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."

4. Memiliki kaitan erat dengan kemenangan.Sebagaimanayang Allah firmankan dalam surat al-Anfal, 8:45 :

(واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)

"..Dan berdzikirlah kalaian yang banyak kepada Allah, semoga kalian beruntung."

5. Kerugian orang yang lalai berdzikir. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Munafiqun, 63:9 :

(يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi."

6. Allah menyebut mereka-mereka yang menyebut-Nya. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat al-Baqarah, 2: 152 :

(فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون)

"Maka sebutlah Aku, niscaya Aku akan menyebut kalian, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kufur."

7. Dzikir sebagai suatu hal yang teramat besar. Sebagaimana yang Allah firmankan dalamn surat Al-Ankabut, 29:45:

(ولذكر الله أكبر)

"Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar (dari pada ibadah-ibadah lain)

8. Sebagai khatimah setiap amal shaleh. Sebagaimana yang Allah gambarkan sebagai penutup ibadah shalat, (Al-Jum'ah, 62:10):

فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."

9. Hanya orang-orang yang berdzikirlah, yang dapat mengambil faedah ayat-ayat Allah. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Ali Imran, 3: 190-191:

إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب. الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

10. Allah menggandengkan dzikir dengan amalan-amalan shaleh lainnya, seperti dengan jihad. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al-Anfal, 8: 45:

(يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung."

JALAN MENUJU DZIKIR YANG SHAHIH

Tinggallah sekarang memahami bagaimana dzikir yang benar. Dzikir yang benar adalah dzikir yang ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah semata. Bahkan keikhlasan ini juga sampai pada derajat, tidak boleh meninggalkannya karena takut riya'. Karena meninggalkan pekerjaan karena takut riya' adalah riya', sebagaimana dikemukakan Fudhail bin Iyadh:

قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، "تَرْكُ الْعَمَلَ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لأَجْلِ النَّاسِ شِرْكُ، وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيْكَ اللهُ مِنْهُمَا

Fudahil bin Iyadh mengatakan, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya', dan beramal karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas adalah Allah melepaskanmu dari kedua hal di atas.

Selain keikhlasan, tentu saja dibutuhkan kesesuaian dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW. Doa dan dzikir yang ma'tsur lebih utama dari doa yang tidak ma'tsur. Meskipun demikian, segala bentuk dzikir yang memuji Allah, memohon ampunannya atau bentuk-bentuk lainnya adalah dapat dilakukan, kendatipun tidak menggunakan lafal bahasa Arab sekalipun. Hal yang terpenting adalah agar senantiasa berdzikir dalam segala waktu dan kondisi. Di rumah, di masjid, di kendaraan, di jalanan, di tempat kerja, terlebih-lebih di medan da'wah..

Dua hal di atas merupakan hal yang paling pokok dalam melakukan dzikir. Dalam Al-Adzkar, Imam Nawawi menyarankan agar orang yang seyogyanya memperhatikan adab-adab dalam melakukan dzikir. Terutama ketika seseorang sedang berada dalam rumahnya, atau di suatu tempat yang layak. Diantara adab-adab tersebut adalah: hendaknya menghadap kiblat, posisi duduk yang menggambarkan kekhusyu'an dan ketakutan kepada Allah, menundukkan kepala, kemudian tempat yang digunakan untuk berdzikir hendaknya bersih dan sunyi, lebih afdhal juga jika seseorang dalam keadaan suci. Adapun jika berada pada suasana diluar masjid dan rumah, maka paling tidak keikhlasan, dan ketundukkan diri pada Allah SWT.

Dzikir adalah suatu hal yang paling indah dalam kehidupan fana ini. Oleh karenanya, sesungguhnya tidak ada alasan apapun, yang membolehkan seorang muslim meninggalkan dzikir. Justru semakin seorang muslim tenggelam dalam kelezatan dzikir, semakin pula ia rindu dan rindu pada Dzat yang di sebutnya dalam dzikirnya. Dan jika seorang hamba rindu pada Khlaiqnya, maka Sang Khaliq pun akan rindu padanya. Rasulullah SAW mengatakan, "barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allahpun merindukan pertemuan dengan-Nya... Ya Allah, jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang senantiasa Engkau rindukan... Amiiin.

Wallahu A’lam bis Shawab By. Rikza Maulan. Lc., M.Ag.

Bahaya Riba

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

Sekilas Tentang Hadits

Hadits ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :

* Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
* Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.

Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :

* Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
* Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
* Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
* Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
* mam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
* Makna Hadits Secara Umum

Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”

Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.

Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.

Makna Riba

Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.

* efinsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
* Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.

Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.

Riba Merupakan Dosa Besar

Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).

Periodisasi Pengharaman Riba

Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:

1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.

Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.

2. Tapap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.

Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.

3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.

Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”

Buruknya Muamalah Ribawiyah

Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :

1. Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
2. Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
3. Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
4. Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
5. Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
6. Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
7. Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?

Praktik Riba Dalam Kehidupan

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :

1. Transaksi Perbankan.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.

Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.

Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.

2. Transaksi Asuransi.

Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).

Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini. Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.

3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.

Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.

Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.

Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)

Wallahu A’lam Bis Shawab.

By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

Sabtu, 08 Januari 2011

Wasiat Fundamental Yang Terabaikan

Oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi
Al Maidani
Sesungguhnya termasuk perkara
penting yang harus selalu kita
ingat adalah wasiat-wasiat
Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wasallam. Diantaranya yaitu
wasiat perpisahan yang beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
sampaikan kepada para sahabat
– semoga Allah meridhoi mereka
seluruhnya-. Dikisahkan oleh
‘ Irbadh bin Sariyah radhiyallahu
’anhu sebagai berikut:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ
أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً
بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ
وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، فَقَالَ
قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا؟
فَقَالَ: ))أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ ))
Pada suatu hari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sholat
bersama kami, kemudian beliau
memberi kami sebuah peringatan
yang sangat baik. Oleh
karenanya, mata-mata kami
berlinang dan hati-hati kami
bergetar. Maka seorang berkata:
“wahai Rosulullah! Seolah-olah ini
adalah peringatan orang yang
akan berpisah, maka apakah
yang engkau pesankan kepada
kami ?”. Beliau pun bersabda:
“Aku berwasiat kepada kalian
untuk bertakwa kepada Allah,
mendengar, dan taat (kepada
penguasa kalian) walaupun dia
seorang budak Habsyi.
Sesungguhnya barangsiapa yang
masih hidup dari kalian setelahku
niscaya dia akan melihat
perselisihan yang cukup banyak.
Maka wajib atas kalian untuk
berpegang dengan Sunnahku dan
Sunnah Khulafa` Ar-Rosyidin Al-
Mahdiyyin (para khalifah yang
terbimbing lagi mendapat
petunjuk). Berpegang teguhlah
dengannya dan gigitlah atasnya
dengan gigi-gigi geraham kalian.
Dan berhati-hatilah kalian
terhadap perkara-perkara baru
dalam agama. Karena
sesungguhnya setiap perkara
baru itu adalah bid ’ah dan setiap
bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu
Dawud, dan dihasankan oleh
Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al
Wadi ’i rohimahullah dalam
kitabnya ”Al Jami’us Shohih
mimma laisa fis Shohihain”
1/198-199 Cet. Daarul Atsaar
Yaman)
Hadits ini merupakan wasiat yang
sangat agung, di dalamnya
terkandung beberapa pelajaran
penting yang disampaikan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk kita tunaikan
sepeninggalnya. Dengan
mengamalkannya, kita tidak akan
terombang-ambing dalam
mengarungi ombak dan badai
kehidupan dunia ini, sebelum kita
menyusul beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam ke alam barzakh dan
akherat nanti.
Pada hadits yang mulia ini, beliau
mewasiatkan tiga perkara
kepada kita: yang pertama
untuk setiap pribadi yang muslim,
yang kedua terhadap
pemerintah kaum muslimin, dan
yang ketiga mengenai
pengamalan agama secara benar.
Adapun yang berkenaan dengan
setiap pribadi yang muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang
artinya): “Aku berwasiat kepada
kalian untuk bertakwa kepada
Allah azza wa jalla. ” Wasiat beliau
untuk bertakwa kepada Allah
merupakan wasiat yang sangat
agung. Wasiat ini adalah ajaran
yang menuntun kita untuk
membentengi diri dengan
keimanan yang kuat kepada Allah
Ta’ala. Seorang yang bertakwa
kepada Allah niscaya akan
berhasil membina dirinya. Dengan
bertakwa, berarti dia berhasil
pula meraih keutamaan serta
ganjaran yang cukup besar disisi
Allah Ta ’ala. Kebaikan dunia dan
akhirat terdapat dalam
bertakwa kepada Allah. Sekian
banyak janji Allah dalam Al-Qur’an
hanya dipersiapkan bagi orang-
orang yang bertakwa. Di
antaranya, Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
* وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ
حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ
جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan untuknya jalan
keluar. Dan memberinya rezki
dari arah yang tiada disangka-
sangkanya. Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki) Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Inilah beberapa keutamaan
bertakwa kepada Allah yang
akan diraih dalam menapaki
kehidupan dunia ini. Allah akan
membentangkan jalan keluar dari
segala problema hidup yang
membelitnya, Allah akan
melimpahkan rezeki kepadanya
dari arah yang tiada disangka-
sangkanya, dan Allah akan
mencukupkan kebutuhannya bila
takwa disertai dengan
penyandaran diri kepada-Nya.
Demikianlah janji Allah kepada
orang-orang yang bertakwa.
Maka barangsiapa yang ingin
meraih keberuntungan ini,
hendaklah dia bertakwa kepada
Allah. Adapun keutamaan
bertakwa kepada Allah yang
akan digapai dalam kehidupan
kampung akherat yaitu
memuaskan diri dengan mereguk
berbagai kenikmatan surga yang
tiada banding. Allah berfirman
(yang artinya):  
”Dan bersegeralah kalian kepada
ampunan dari Rob kalian dan
kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi, yang
disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa ”. (Ali Imron: 133)
”Sesungguhnya orang-orang
yang bertakwa berada dalam
naungan (yang teduh) dan (di
sekitar) mata-mata air. Dan
(mendapat) buah-buahan dari
(macam-macam) yang mereka
inginkan. (Dikatakan kepada
mereka): “Makan dan minumlah
kalian dengan enak karena amal
yang telah kalian kerjakan ”. (Al
Mursalaat: 41-43)
”Sesungguhnya orang-orang
yang bertakwa mendapat
kemenangan. (Yaitu) kebun-
kebun dan buah anggur. Dan
gadis-gadis remaja yang sebaya.
Dan gelas-gelas yang penuh
(berisi minuman). Di dalamnya
mereka tidak mendengar
perkataan yang sia-sia dan tidak
(pula) perkataan dusta. Sebagai
pembalasan dari Robmu dan
pemberian yang cukup banyak ”.
(An Naba`: 31-36)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat
senada yang berbicara tentang
pahala dan ganjaran bagi orang-
orang yang bertakwa di
kampung akherat nanti.
Bertakwa kepada Allah artinya
melaksanakan perintah-perintah
Allah dan meninggalkan larangan-
larangan Nya. Bertakwa adalah
kalimat yang singkat tetapi
pengamalannya merupakan
perkara yang cukup berat.
Kebanyakan manusia terombang-
ambing dalam bertakwa kepada
Allah diantara dua kondisi.
Sebagian dari mereka tidak
menunaikannya sesuai dengan
yang dikehendaki dan diridhoi
oleh Allah. Sedangkan sebagian
yang lain berlebihan ketika
mengamalkannya sehingga
melampaui batas dalam
beragama. Namun yang
berbahagia dan beruntung
adalah orang-orang yang
menunaikan dan
mengamalkannya sesuai dengan
keridhoan Allah Ta ’ala dan tidak
melampui batas agama. Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya, dan janganlah
sekali-kali kalian meninggal dunia
melainkan sebagai orang-orang
yang beragama islam. ” (Ali ‘Imran:
102)
Wasiat beliau yang kedua yaitu
menyangkut hubungan dengan
pemerintah kaum muslimin,
hubungan dalam bernegara dan
bermasyarakat. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
mengajarkan (yang artinya):
“ Aku wasiatkan kepada kalian
untuk mendengar dan taat
walaupun yang berkuasa atas
kalian adalah seorang budak
Habasyi. ” Ini adalah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk menunjukkan
betapa penting mendengar dan
taat kepada pemerintah yang
muslim. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهُ، وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ
يُطِعِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ
يَعْصِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang taat
kepadaku berarti dia telah taat
kepada Allah. Barangsiapa yang
bermaksiat kepadaku berarti dia
telah bermaksiat kepada Allah.
Barangsiapa yang taat kepada
penguasanya berarti dia telah
taat kepadaku. Dan barangsiapa
yang durhaka kepada
penguasanya berarti dia telah
durhaka kepadaku. ” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim dari sahabat
Abu hurairah radhiyallahu ’anhu)
Maka mendengar dan taat
kepada pemerintah kaum
muslimin merupakan perkara
yang diperintahkan oleh Islam.
Tentu saja mendengar dan taat
yang diperintahkan oleh islam itu
dalam batas norma-norma
kebaikan. Semuanya harus
berpijak kepada ajaran Al Quran
dan As-Sunnah. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“sunguh ketaatan itu hanya
dalam perkara yang baik.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari
sahabat Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu)
Adapun untuk yang selain
kebaikan, kita tidak
diperintahkan untuk mendengar
dan taat kepada pemerintah.
Namun bukan berarti bahwa kita
diperbolehkan melakukan
tindakan-tindakan yang
menjatuhkan kewibawaan
pemerintah tersebut. Oleh
karena itu, Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam bersabda:
السُّلْطُانُ ظِلُّ اللهِ فِي اْلأَرْضِ
فََمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ مَنْ أَكْرَمَهُ
أَكْرَمَ اللهُ
“Penguasa itu adalah naungan
Allah diatas muka bumi, maka
barangsiapa yang memuliakannya
niscaya dia akan dimuliakan oleh
Allah. Dan barangsiapa yang
menghinakannya niscaya dia
akan dihinakan oleh Allah. ” (HR.
Ibnu Abi ’Ashim dan yang
selainnya, dari sahabat Abu
Bakroh radhiyallahu ’anhu,
dihasankan oleh Syaikh Al Albani
rohimahullah)
Selanjutnya beliau shallallahu
‘ alaihi wasallam bersabda yang
artinya: “Walaupun yang
memerintah kalian adalah
seorang budak Habasyi ”. Ini
bukan berarti bahwa kita
disyariatkan untuk mengangkat
penguasa dari seorang budak
habsyi. Sebab kekuasaan itu
pada hakekatnya hendaklah
diserahkan kepada seorang yang
bersuku Quraisy. Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
اْلأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشَ
“Para pemimpin (kaum muslimin)
itu adalah dari suku Quraisy”.
(HR. Ahmad, At-Thabrani, Al
Baihaqi, At-Thayalisi, Ibnu Abi
‘ Ashim, dan yang lainnya, dari
beberapa orang sahabat nabi,
diantaranya: Anas bin Malik, Ali
bin Abi Thalib, Abu Barzah Al-
Aslami, dan yang lainnya. Hadist
ini dishahihkan oleh syaikh Al-
Albani di dalam Al-Irwa` no (250) )
Sedangkan dalam hadits yang
lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam hanya ingin memberikan
permisalan. Yang beliau lakukan
ini dalam rangka mempertegas
perintahnya untuk mendengar
dan taat kepada pemerintah kita
dalam segala kondisi, baik
sewaktu sulit atau mudah, suka
atau murka, bahkan walaupun
mendzolimi kita, selama tidak
mengandung maksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta ’ala. Oleh
sebab itu, Rasulullah shallallahu
‘ alaihi wasallam telah mengambil
ba’iat dari para sahabatnya –
semoga Allah meridhoi mereka
seluruhnya- agar tetap
mendengar dan taat kepada
penguasa mereka. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh sebagian
sahabat:
“Baik dalam keadaan kami suka
maupun tidak suka”. (HR.Al
Bukhari dan Muslim dari sahabat
Ubadah bin As-Shamit
radhiyallahu ’anhu)
Adapun wasiat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang
ketiga yaitu mengenai
pengamalan agama secara benar.
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda (yang artinya):
“ Barangsiapa yang masih hidup
dari kalian setelahku niscaya dia
akan melihat perselisihan yang
cukup banyak ”.
Yakni perselisihan dalam masalah
agama. Kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“ Wajib atas kalian untuk
berpegang dengan Sunnahku dan
Sunnah Khulafa` Ar-Rosyidin Al-
Mahdiyyin (para khalifah yang
terbimbing lagi mendapat
petunjuk )”.
Yakni berpegang kepada ajaran
agama yang telah diwariskan
oleh Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam kepada para
sahabatnya, secara lebih khusus
para Khulafa` Ar-Rosyidin (Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) –
semoga Allah meridhoi mereka
seluruhnya-. Perintah beliau ini
membimbing kita untuk
memahami agama sesuai dengan
Sunnahnya dan pemahaman para
sahabatnya. Kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“ Berpegang teguhlah kalian
dengannya dan gigitlah atasnya
dengan gigi-gigi geraham kalian ”.
Pernyataan ini merupakan
penekanan yang extra dalam
memegang sunnah beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
sekuat-kuatnya, sampai
diibaratkan seperti menggigitnya
dengan gigi-gigi geraham.
Seorang yang menggigit dengan
gigi-gigi gerahamnya terbukti
lebih kuat daripada yang
menggigit dengan gigi-giginya
yang lain. Bahkan gigitannya
tidak akan mampu dilepaskan
walaupun dengan tarikan yang
menghentak kecuali jika gigi-gigi
geraham itu telah tercabut dari
akarnya.
Maksud dari semua ini yaitu
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan kita agar
memegang teguh sunnahnya
dengan sekuat tenaga dan
kemampuan. Sebab di masa
belakangan sepeninggal beliau
nanti, akan terjadi perkara-
perkara baru dalam agama yang
memancing kita untuk mengikuti
angkara murka hawa nafsu kita.
Oleh karena itu, beliau shallallahu
‘ alaihi wasallam bersabda:
“ Dan berhati-hatilah kalian
terhadap perkara-perkara baru
dalam agama. Karena
sesungguhnya setiap perkara
baru itu adalah bid ’ah dan setiap
bid’ah itu adalah sesat”.
Wallahu a’lam bish shawab ***

MAJELIS ILMU AL ISLAMI DI FACEBOOK